Kamis, 11 Oktober 2012

PENGERTIAN INCEST

-Pengertian incest
Belakangan ini, banyak sekali ditemukan baik di media maupun kehidupan nyata, seorang anak menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan anggota keluarga sendiri yang lazim disebut incest
Incest atau inses dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah hubungan seksual antara orang-orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hokum dan agama.
Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen, incest adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yamg memiliki ikatan keluarga yang kuat, seperti misalnya ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama keluarga kandung.
Sedangkan menurut Kartini Kartono(1989:255), incest  adalah hubungan seks diantara pria dan wanita di dalam atau diluar ikatan perkawinan, dimana mereka terkait dalam hubungan kekerabatan atau keturunan yang yang dekat sekali.
Sofyan S. Willis (1994:27) mengemukakan pengertian incest sebagai berikut:
Hubungan kelamin yang terjadi antara dua orang diluar nikah, sedangkan mereka adalah kerabat dekat sekali.
Selanjutnya pendapat incest yang dikemukakan oleh Supratik (1995:101) mengatakan bahwa:
Taraf koitus antara anggota keluarga, misalnya antara kakak lelaki dengan adik perempuannya yang dimaksud adalah hubungan seksual. Atau antara ayah dengan anak perempuannya, yang dilarang oleh adat dan kebudayaan.
 Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Incest adalah hubungan seksual yang terjadi di antara anggota kerabat dekat, biasanya adalah kerabat inti seperti ayah, atau paman. Incest dapat terjadi suka sama suka yang kemudian bias terjalin dalam perkawinan dan ada yang terjadi secara paksa yang lebih tepat disebut dengan perkosaan.
Incest digambarkan sebagai kejadian relasi seksual; diantara individu yang berkaitan darah, akan tetapi istilah tersebut akhirnya dipergunakan secara lebih luas, yaitu untuk menerangkan hubungan seksual ayah dengan anak, antar saudara. Incest  merupakan perbuatan terlarang bagi hampir setiap lingkungan budaya.
Freud (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005:74) berkesimpulan bahwa dasar tabu incest adalah apabila incest  dibenarkan maka akan terjadi persaingan, perebutan pasangan dalam lingkungan, antara ayah-ibu-saudara-saudara. Jelas bahwa persaingan atau perbuatan semacam itu akan membawa kehancuran keluarga dan suku bangsa sendiri.
Kemudian Freud (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005:74) menambahkan bahwa disposisi psikis yang dibawa sejak lahir akan tetap efektif apabila mendapat persaingan tertentu daripada proses percampuran darah anatara individu yang tidak ada kaitan darahnya. Selain itu, tidak ada satu generasi pun yang akan mampu mempertahankan disposisi psiikis yang positif dalam garis keturunan yang sama. Kecuali itu, ketakutan kastrasi pada fase phallic menghambat pelampiasan fantasi incest.
Fakta biologis juga memperkuat tabu incest karena kematian, retardasi mental, dan kelalaian congenital sangat banyak terjadi sebagai akibat incest. Walaupun banyak factor yang memungkinkan terjadi incest.
Lustig (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005:74-75) menyatakan terdapat lima kondisi gangguan keluarga yang memungkinkan terjadinya incest, yaitu:
1.       Keadaan terjepit, dimana anak perempuan menjadi figure perempuan utama yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu.
2.       Kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya.
3.       Ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah karena kebutuhan untuk mempertahankan façade kestabilan sifat patriachat-nya.
4.       Ketakutan akan perpecahan keluarga yang memungkinkan beberapa anggota keluarga untuk lebih memilih desintegrasi struktur daripada pecah sama sekali.
5.       Sanksi yang terselubung terhadap ibu yang tidak berpartisipasi dalam tuntutan peranan seksual sebagai istri.
Faktor kondisi social yang sering memungkinkan pelanggaran incest adalah rumah yang sempit dengan penghuni yang berdesakan, alkoholisme, isolasi geografis, sehingga sulit mencari hubungan dengan anggota keluarga yang lain.
Sedangkan menurut Kartini Kartono (1989:225) penyebab incest  adalah antara lain ruangan rumah yang tidak memungkinkan orang tua, ank, dan saudara pisah kamar. Sedangkan hubungan incest antara ayah dengan anak perempuannya dapat terjadi sehubungan dengan keberadaan penyakit mental yang serius pada pihak ayah.
Kartini kartono (1989:225) menambahkan bahwa incest banyak terjadi dikalangan rakyat dari tingkat kalangan social-ekonomi yang rendah.
Jenis-jenis incest berdasarkan penyebabnya adalah:
1.       Incest yang terjadi secara tidak sengaja, misalnya kakak-adik lelaki perempuan remaja yang tidur sekamar, bias tergoda melakukan eksperimentasi seksual sampai terjadi incest.
2.       Incest akibat psikopatologi berat. Jenis ini bias terjado antara ayah yang alkoholik atau psikopatik dengan anak perempuannya. Penyebabnya adalah kondornya control diri akibat alcohol atau psikopati sang ayah.
3.       Incest akibat pedofilia, misalnya seorang lelaki yang haus menggauli anak-anak perempuan dibawah umur, termasuk anaknya sendiri.
4.       Incest akibat contoh buruk dari ayah. Seorang lelaki menjadi senanh melakukan incest karena meniru ayahnya melakukan perbuatan yang sama dengan kakak atau adik perempuannya.
5.       Incest akibat patologi keluarga dan hubungan perkawinan yang tidak harmonis. Seorang suami-ayah yang tertekan akibat sikap memusuhi serba mendominasi dari istrinya bias terpojok melakukan incest dengan anak perempuannya.
Secara umum ada dua kategori incest. Pertama parental incest, yaitu hubungan antara orang tua dan anak. Kedua Sibling incest, yaitu hubungan antara saudara kandung. Kategori incest dapat diperluas lagi dengan memasukkan orang-orang lain yang memiliki kekuasaan atas anak tersebut, misalnya paman, bibi, kakek, nenek, dan sepupu.
Bentuk-bentuk incest tidak terbatas hanya dalam bentuk kekerasan seksual secara fisik, namun juga psikis dan mental yang mencakup rayuan dan iming-imimng. Berikut beberapa bentuk kekerasan seksual yang termasuk incest:
1.       Ajakan atau rayuan berhubungan seks
2.       Sentuhan atau rabaan seksual
3.       Penunjukan alat kelamin
4.       Penunjukan hubungan seksual
5.       Memaksa melakukan mastrubasi
6.       Meletakkan atau memasukkan benda-benda atau jari tangan ke anus atau vagina
7.       Berhubungan seksual (termasuk sodomi)
8.       Mengambil atau menunjukkan foto anak kepada orang lain tanpa busana atau ketika berhubungan seksual.
Semakin maraknya kasus incest memperlihatkan betapa rentannya posisi seorang anak untuk menjadi korban kekerasan seksual. Terlebih lagi pelakunya adalah orang yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Incest menurut hokum pidana
Pengaturan perbuatan incest atau yang lebih dikenal dengan hubungan seksual sedarah dalam KUHPidana sangatlah penting, terutama mengenai sanksi-sanksinya. Pengaturan untuk kasus-kasus incest masih berdasarkan pada Pasal 285, Pasal 287, Pasal 294 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) butir (1).
Pasal 285 KUHPidana dengan jelas menyebutkan bahwa “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diluar pernikahan, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” untuk pasal 285 KUHPidana kurang tepat karena pasal ini adalah pasal pemerkosaan, demikian juga dengan Pasal 287 yang menyebutkan “barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedangkan diketahui atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun”,  pasal ini juga belum tepat untuk pengaturan incest.
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana pengaturan mengenai incest disebutkan secara jelas dalam buku ke II Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan Pasal 294 ayat (1) R. Soesilo(1995:215), yaitu:
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan kepadanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

5 komentar:

  1. Thanks jdi nambah pengetahuan

    BalasHapus
  2. dari semua pasal diatas semuanya merujuk pada kasus inses dalam bentuk pemerkosaan tapi apa ada hukum untuk yang terlibat kasus inses dalam bentuk suka sama suka?? soalnya kalau ada bisa bertabrakan dengan HAM dimana setiap orang bebas melakukan keinginannya sendiri tanpa merugikan pihak lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. kasus inses juga diatur dalam KUHP dan UU KDRT,walaupun inses yang dimaksud berhubungan dengan anak, ipar, mantu, menantu, mertua, besan. dan selagi itu di adukan (karena perkara ini masuk dalam delik aduan) ya bisa saja di proses. kayak kasus aritonang di Medan baru baru ini.

      sejatinya HAM dan Hukum pasti berbentrokan tapi kita harus memilih untuk menyuarakan hak kita selama itu tidak bertentangan dengan asusila masyarakat atau memilih jalur hukum agar bisa melindungi masyarakat dan mencapai nilai kesejahteraan masyarakat (walaupun ini cuma teori) tapi naluriah manusia masih ada untuk mencapai nilai kesejahteraan tsb.

      Hapus
  3. Ini referensi bukunya apa aja ya??

    BalasHapus