Galesong, sebuah Kecamatan yang berada di Kabupaten Takalar Provonsi
Sulawesi Selatan dengan jarak sekitar 25 km dari kota makassar.
berbicara tentang Galesong adalah berbicara tentang sebuah sejarah yang
heroik di masa lalu. tapi kali ini saya tidak akan berbicara tentang
sejarah dari Kerajaan Galesong, tulisan ini hanya sebuah deskripsi
tentang hilangnya sebuah kultur masyarakat adat yang ada di galesong,
memang adat istiadat yang ada masih menjadi ritual resmi dari para
pelaku baik yang berada di lungkungan kerajaan ataupun masyarakat yang
ada disekitarnya. namun itu semua tersisa hanya simbolik saja dan hanya
tertinggal ritual saja tanpa terbalut lagi dengan sebuah kesakralan
sebuah pesta ataupun sebuah ritual adat masyarakat.
Pertengahan tahun 2010 proses pemilihan ataupun pengangkatan karaeng
galesong berlangsung tidak demokratis dan sangat jauh melenceng dari
proses pemilihan pemimpin sebuah kerajaan dan masyarakat adat pada
lasimnya. banyak tokoh-tokoh masyarakat setempat yang berlomba-lomba
untuk masuk menjadi kandidat walaupun itu terkesan dipaksakan, dari yang
yang berkepentingan politik sampai yang mengaku keturunan dari Karaeng
(raja,pemimpin) sebelumnya.
memang dalam mencari kebenaran atas silsilah siapa yang berhak dan
tidak untuk di angkat sebagai pemimpin (karaeng Galesong) tidak
segampang membalikkan telapak tangan. Karaeng Galesong yang sah sesuai
dengan garis keturunan menurut pandangan saya adalah pemimpin kerajaan
Galesong yang berangkat membantu perang Turnojoyo di pulau jawa pasca
perjanjian bonggaya oleh kerajaan Gowa. satya tidak akan berbicara
panjang lebar tentang sejarah, karena saya bukanlah seorang sejarawan.
setelah mengamati situasi yang terjadi di Galesong maka kesimpulan
yang ada adalah adanya pembohongan yang telah berlangsung sejak lama,
adanya pihak-pihak yang ingin menenggelamkan kebenaran demi ego dan
sebuah kesombongan. terfikir olehku untuk tokoh-tokoh yang
tersingkirkan, dimanakah mereka?. mereka mungkin adalah keturunan asli
dan memiliki darah ningrat yang murni, diamnya mereka adalah kebenaran,
mereka cenderung menutup diri dan tidak mau tahu tentang kepemimpinan
adat yang ada Galesong, merekalah orang-orang yang berhak dengan
singgasana adat yang ada akan tetapi kebesaran jiwa yang mereka miliki
melambangkan kebesaran harkat dan martabat mereka.
sebahagian dari mereka tidak gila akan strata sosial di masyarakat,
tidak gila akan jabatan, bahkan sebahagian dari mereka tidak ingin
memakai gelar Karaeng pada nama mereka serta keturunannya, bagi mereka
kebesaran jiwa serta perilakulah yang melambangkan sebuah kebesaran atas
dirinya,
kebenaran dalam mencari silsilah yang asli tidaklah akan di dapatkan
dalam lingkungan keluarga Karaeng Galesong saat ini ( pemangku adat ),
setidaknya itu dapat di temukan pada arsip kerajaan Gowa dimana Galesong
adalah distrik dari Kerajaan Gowa, begitupun Kraton Dyogyarta yang
banyak menyimpan arsip kerajaan-kerajaan di nusantara begitupun dengan
negara Belanda mereka memiliki data yang lengkap tentang silsilah
kerajaan-kerajaan di Indonesia
sumber : dumalana
Abd Kadir Nassa
Rabu, 17 Oktober 2012
Cleptomania
Gangguan yang
berupa tingkah laku yang dilakukan secara berulang dan secara kompulsif, merasa
tersiksa karena ketidak mampuan untuk mengontrol diri. Gangguan control impuls:
tingkah laku yang secara potensial berbahaya, yang tidak dapat ditolaknya,
kadang mempunyai efek sakit-beberapa mengandung resiko. Ada 3 gambaran
1. Tidak mampu untuk melakukan impuls yang
dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain; tingkah laku itu dapat
spontan, dapat pula terencana, beberapa berusaha menolak, yang lain setuju ketika
ada dorongan tersebut.
2. Sebelum melakukan perbuatan itu orang
merasa adanya tekanan untuk melakukan itu, mengalami kecemasan dan tekanan yang
hanya dapat hilang dengan melakukan impuls tersebut; beberapa merasakan seperti
timbulnya gairah seksual.
3. Ketika melakukan impuls itu, ia merasakan
senang, atau puas, juga seperti dorongan seksual terpuaskan.
salah satunya
adalah Cleptomania Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kleptomania
merupakan sebuah gangguan kejiwaan dimana seorang penderita mengalami dorongan
dan ketegangan yang sangat kuat untuk melakukan tindakan mengambil barang milik
orang lain dan mencapai kepuasaannya apabila tindakan mengambil tersebut telah
berhasil. Seolah menjadi sebuah kebutuhan, dimana barang yang diambil bukan
merupakan barang yang dibutuhkan atau bernilai ekonomis tinggi, melainkan
semata pemenuhan hasrat “sensasi” dalam melakukan tindakan pengambilan barang
tersebut.
Penderita ini
mencuri bukan karena kebutuhan ekonomi, tetapi mereka didorong oleh dorongan untuk
mencuri yang terus menerus.
Sifat:
·
Didorong keinginan mencuri, bukan keinginan untuk
memiliki
·
Motivasi utama: menghilangkan ketegangan.
·
Mencuri – menghilangkan ketegangan dan memberikan rasa
sensasi, meskipun orang merasa dorongan itu tidak menyenangkan, tidak dikehendaki,
mengganggu dan bodoh.
·
Pencurian dapat dilakukan di toko, tetapi ada yang hanya
pada orang yang ia tertarik.
·
Barang curian dibuang atau diberikan orang lain
·
Ciri khas: tidak ada perhatian pada barang yang dicuri.
Teori dan Perlakuan
Teori dan Perlakuan
·
Penderita kleptomania biasanya juga menderita gangguan
psikologis yang lain
·
Ada yang berteori kleptomania merupakan simptomp gangguan
biologis, maka ada yang berpendapat gangguan itu akibat kekurangan serotonin –
maka penyembuhan dengan fluxitin yang menaikkan serotonin di system syaraf
·
Perlakuan behavioral: sensitisasi tertutup, klien
diperintah menimbulkan dalam pikiran bayangan aversif selama perbuatan mencuri.
Misalnya: bayangan hal yang menjijikkan seperti muntah, atau disuruh
menggunakan penghenti pikiran.
seperti yang
dikemukakan pada wikipedia, penyakit ini umum muncul pada masa puber dan ada
sampai dewasa. Pada beberapa kasus, kleptomania diderita seumur hidup.
Penderita juga mungkin memiliki kelainan jiwa lainnya, seperti kelainan emosi,
Bulimia Nervosa, paranoid, schizoid atau borderline
personality disorder. Kleptomania dapat muncul setelah terjadi cedera otak traumatik dan keracunan
karbon monoksida.
Pendekatan
Psikologis
Kleptomania dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah
satunya ialah sebagai wadah pemenuhan kepuasaan. Dilihat dari kacamata ilmu
jiwa, kleptomania merupakan sebuah impuls abnormal untuk mencuri. Ini merupakan
penyakit mental patologis.
Seperti gangguan pengendalian impuls lainnya, kleptomania
ditandai oleh ketegangan yang memuncak sebelum tindakan, diikuti oleh pemuasan
dan peredaan ketegangan dengan atau tanpa rasa bersalah, penyesalan, atau
depresi selama tindakan. Mencuri adalah tidak direncanakan dan tidak melibatkan
orang lain.
Walaupun pencurian tidak terjadi jika kemungkinan akan
ditangkap, orang kleptomania tidak selalu mempertimbangkan kemungkinan
penangkapan mereka, kendatipun penahanan yang berulang menyebabkan penderitaan
dan rasa malu. Orang kleptomania mungkin merasa bersalah dan cemas setelah
mencuri, tetapi mereka tidak marah atau balas dendam. Selain itu, jika benda
yang dicuri adalah sasaran, diagnosis bukan kleptomania, karena kleptomania
tindakan mencuri itu sendirilah yang menjadi sasarannya.
Seperti yang dikemukan diawal pembahasan ini bahwa
kebanyakan dari penderita adalah para remaja, disaat masa pubertas hingga orang
dewasa. Dalam pandangan psikologi, masa remaja merupakan masa dimana seseorang
tengah asyik untuk mencoba-coba berbagai hal, dari yang bermanfaat bagi dirinya
hingga hal-hal yang dapat memberikan kepuasan dalam dirinya. Ketika seorang
remaja mencoba-coba tindakan tersebut dan dia mendapatkan “reward” berupa
kepuasan dalam dirinya, maka ia cenderung terus melakukan tindakan tersebut,
apapun resikonya. Seperti yang dikemukakan dalam teori Operant Conditioning
bahwa seseorang cenderung mempertahankan perilakunya apabila ia mendapatkan
reward dari tindakannya tersebut. Reward bagi seseorang jelas tidak terbatas
hanya pada bentuk materi. Kepuasan diri dan pemenuhan hasrat mencari sensari
dapat menjadi reward yang besar bagi seseorang. Dalam pandangan psikoanalisa,
seseorang mempunyai dorongan-dorongan dari alam bawah sadar yang biasa disebut
dengan “id”. Dorongan-dorongan tersebut cenderung mengajak manusia melakukan
keburukan. Pandangan Freud tentang manusia adalah pada dasarnya manusia
merupakan kumpulan-kumpulan hasrat jahat. Selain “id” manusia juga memiliki
eksekutor yang disebut dengan “ego”. Ego bertindak sebagai eksekutor dari
dorongan-dorongan yang diberikan id dan dirasionalisasikan oleh “super ego”
sehingga yang tersalurkan lewat ego merupakan tindakan yang telah mengalami
“diskusi” antara id dengan super ego. “Super ego” memberikan pertimbangan yang
lebih baik pada ego dalam melakukan sebuah keputusan dan tindakan dari semua
hasrat/keinginan-keinginan alam bawah sadar. Penderita Kleptomania mempunyai id
yang cukup kuat untuk mengajaknya melakukan tindakan pengambilan barang
seseorang. Dorongan-dorongan tersebut seolah membujuk penderita bahwa dengan
mengambil barang orang lain, maka ia akan mendapatkan hal menyenangkan yang
dapat membuatnya bahagia. Namun bukan berarti super ego tidak bertindak dalam
meminimalisir tindakan tersebut, bahwa sebenarnya penderita masih menyadari
noma-norma dan dan moral dalam bermasyarakat hanya saja saat melakukan tindakan
tersebut, penderita seolah tengah “dirasuki” sehingga pada saat melakukan
tindakan tersebut seolah ia tidak sadarkan diri, terhanyut oleh id-nya untuk
mengambil barang yang sebenarnya tidak ia butuhkan atau bahkan ia dapat
membelinya sendiri. Super ego akan timbul setelah ia melakukan tindakan
tersebut, perasaan bersalah terkadang juga menghantui menderita
kleptomania, sehingga timbulah depresi pada penderita yang terkadang penjadi penyebab
tindakan bunuh diri. Saat sadar ia menyadari tindakannya itu tidak baik dan
membuatnya terpuruk dimasyarakat, namun ia tidak dapat mencegah tindakannya
tersebut saat ia sudah mulai melakukan aksi-nya dalam mengambil barang orang
lain. Karena sensasi-lah yang ia cari, ketegangan saat melakukan dan perasaan
puas saat tindakannya telah selesai dan ia merasa telah berhasil, bahkan seolah
aktualisasi dirinya telah tercapai.
Pendekatan
Sosial
Kleptomania merupakan salah satu gangguan mental.
Hambatan-hambatan yang berkaitan dengan kesehatan mental ialah banyak orang
tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya mengalami gangguan mental. Disamping
itu banyak orang yang menderita gangguan mental tidak mau menerima perawatan
apapun. Pada penderita kleptomania, orang tersebut bisa jadi sadar bahwa
perilakunya merugikan masyarakat dan ia merasa malu untuk bersosialisasi, namun
terkadang peran masyarakat pula lah yang diperlukan.
Sebagian orang masyarakat ada
yang tidak mengetahui bahwa kleptomania merupakan suatu gangguan mental. Mereka
berfikir orang-orang yang melakukan klepto merupakan seorang pencuri, sehingga
penderitapun dikucilkan dan dicemooh. Sebagian masyarakat yang lainpun bisa
jadi mengetahui gangguan mental kleptomania ini, namun karena berbagai faktor
seperti sulitnya mencari seorang psikolog, tidak adanya fasilitas-fasilitas
yang memadai, kekurangan biaya, sehingga pengobatan dan perawatan tidak
dilakukan. Dengan adanya pendeskriminasian pada masyarakat, maka akan timbul
perilaku menarik diri, merasa diri paling bersalah, malu untuk bersosialisasi,
dan masih banyak hal lain yang mengekang perilaku sosalisasi penderita.
Penderita akan menjadi pribadi yang cenderung pendiam, menyendiri, tidak mau
berkomunikasi dan mengenal orang lain, menjadi orang yang introvert, merasa
masyarakat sekitar memandang hina pada dirinya sehingga tidak ada keinginan
untuk membina sosialisasi. Namun faktor eksternal pun terlibat seperti,
menjauhnya masyarakat dari penderita kleptomania, timbulnya jugdement
masyarakat pada penderita yang terkadang hal ini justru memicu penderita untuk
tetap melakukan tindakan klepto-nya, penderita merasa tidak ada lagi yang
percaya dengan dirinya, maka timbullah stress bahkan depresi berat.
Oleh sebab itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui
berbagai gangguan mental termasuk kleptomania dan cara pengobatannya, sehingga
baik masyarakat maupun penderita dapat terbebas dari perasaan bersalah dan
tindakan yang salah terhadap penderita.
Pendekatan
Spiritual
Dalam agama Islam, mencuri merupakan perbuatan tercela
yang dapat merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Namun kita harus
dapat membedakan antara tindakan mencuri dengan kleptomania. Mencuri adalah
tindakan yang dilakukan secara sadar dan terencana. Berbeda halnya dengan
kleptomania, penderita tidak menyadari perbuatannya tersebut. Terjadinya
tindakan mengambil barang orang lain karna adanya dorongan-dorongan dan sensasi
yang terjadi saat melakukan pengambilan barang tersebut dan adanya kepuasan
saat selesai melakukan tindakan tersebut.
Dalam Islam mengajarkan bahwa buku amalan akan ditarik
dalam 3 kriteria, salah satunya ialah apabila orang tersebut tidak
berakal/adanya gangguan jiwa (hilang ingatan), maka Allah akan mengampuni
kesalahannya. Dosa seseorang akan berlaku bagi mereka yang bisa membedakan mana
yang haq dan mana yang bathil. Mereka yang menyadari dan mengetahui bahwa
tindakan mencuri merupakan tindakan buruk dan merugikan orang lain, namun tetap
melakukan hal tersebut, maka jelas ia telah melanggar larangan Allah dan Allah
tidak menyukai perbuatannya. Namun pada penderita kleptomania, pada saat
melakukan tindakan tersebut, hilangnya kesadaran mereka untuk dapat mengontrol
diri dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dalam surat Ar-Ra’d ayat 28 yang
artinya;
“(yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Salah satu penyebab tindakan klepto adalah timbulnya
gangguan kecemasan dan hati yang tidak tenang. Maka Allah telah menurunkan
firman-Nya seperti diatas. Bahwa dengan mengingat Allah (berdzikir) akan
menghindarkan seseorang dari berbagai gangguan jiwa seperti kleptomania.
Seorang muslim seharusnya mempercayai bahwa jika ia mengingat Allah dalam
setiap keadaan, maka itu dapat menjadi penyembuh dari berbagai penyakit hati
dan gangguan jiwa. Sehingga hidup pun menjadi lebih tentram dan damai serta
terhindar dari berbagai penyakit.
Pendekatan
Hukum
Pencurian
merupakan tindak pidana yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Seseorang
dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana pencurian apabila telah
memenuhi unsur-unsur dalam pencurian dan dilakukan dengan sengaja yaitu pencuri
menghendaki dan mengetahui akan akibat dari tindakannya, sedangkan seorang kleptomania
melakukan pencurian bukan karena dia memang memerlukan barang yang diambilnya
atau bukan karena barang itu memang memiliki nilai yang mahal. Tapi dia
melakukan pencurian karena adanya dorongan yang tidak bisa ditahannya. Hal ini
jelas berbeda dengan seorang pencuri biasa yang merasa khawatir kalau-kalau
tindakannya diketahui orang lain, maka seorang kleptomania sama sekali tidak
memiliki kekhawatiran seperti itu saat dia melakukan pencurian. Bagi diri
seorang kleptomania, mencuri justru merupakan sebuah tindakan yang menyenangkan
bagi dirinya.
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, diperoleh suatu kesimpulan
bahwa perspektif pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku pencurian karena
kleptomania yaitu para penderita kleptomania dapat dikenakan hukuman atas
perbuatan pencurian yang telah dilakukannya karena kemampuannya untuk
bertanggung jawab tidak sepenuhnya hilang. Seorang kleptomania dapat
bertanggung jawab atas perbuatannya yang biasa dikenal dengan
pertanggungjawaban sebagian. Untuk melihat apakah perbuatannya dilakukan dalam
keadaan seseorang tersebut sedang sakit atau tidak harus ada pernyataan dari
dokter ahli jiwa. Apabila orang tersebut benar mempunyai penyakit kleptomania
maka aparat penegak hukum harus memberikan tindakan kepada pelaku, tindakan
yang dilakukan adalah memasukan pelaku ke rumah sakit jiwa atau dilakukannya
bimbingan psikiatri. Sedangkan alasan penyidik kepolisian memproses pelaku
tindak pidana pencurian karena kleptomania yaitu setiap adanya aduan dari pihak
pelapor atau pihak yang dirugikan, pihak kepolisian harus memproses pelaku
terlebih dahulu sesuai dengan prosedur penyidikan. Apabila setelah diselidiki
pelaku memang benar terbukti mengidap penyakit kleptomania, pihak kepolisian
akan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP 3).
Penyidik
kepolisian dalam menangani setiap kasus harus bertindak sesuai prosedur yang
ada, bila menemukan pelaku tindak pidana pencurian karena kleptomania tidak
langsung membebaskannya begitu saja tetapi harus diproses terlebih dahulu
apakah benar orang tersebut seorang kleptomania atau memang pencuri biasa.
Sehingga aparat penegak hukum tidak salah dalam mengambil keputusan.
Selasa, 16 Oktober 2012
Takalar
Nama-nama seperti H. Dewakang Dg. Tiro, Daradda Dg. Ngambe, Abu Dg.
Mattola dan Abd. Manna Dg. Liwang mungkin asing di telinga generasi muda
Takalar atau Sulawesi Selatan secara umum. Padahal keempatnya merupakan
sosok penting yang gigih memperjuangkan lahirnya pemerintahan Kabupaten
Takalar. Karena merekalah, gagasan kabupaten otonom Takalar bergulir.
Tidak mudah, sebab saat itu Takalar telah digabung dengan Jeneponto.
Urusan administrasi pemerintahan berada di Bontosunggu. Sesungguhnya,
Takalar adalah daerah Onderafdelling yang tergabung pada Daerah
Swatantra Makassar, meliputi Jeneponto, Gowa, Maros dan Pangkep.
Dalam upaya mencapai tujuan perjuangan tersebut, dibentuklah tim kecil yang menyuarakan aspirasi masyarakat. Mereka, para tokoh itu, segera menghadap ke Pemerintah, baik legislatif maupun eksekutif. Mereka menghadap Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar guna menyalurkan aspirasi dan tuntutan masyarakat supaya Takalar bisa berdiri sendiri. Tentu dengan segala macam argumentasi. Landasannya jelas, spirit meneruskan perjuangan dan kebebasan mengelola sumberdaya pemerintahaan di Takalar didasarkan pada kompetensi, kapasitas dan kapabilitas berdasarkan latar belakang masing-masing.
Dua tahun kemudian, yakni tahun 1959 terbitlah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 (LN No. 74 Tahun 1959) tentang pembentukan daerah-daerah Tingkat II Sulawesi Selatan dimana Kabupaten Takalar berdiri sendiri sebagai satu kabupaten dengan ibukota Pattallassang berdasarkan Perda No. 13 Tahun 1960. Bupati pertama bernama Donggeng Dg. Ngasa seorang pamongpraja senior. Pemerintah provinsi saat itu melihat kegigihan dan keberanian untuk mengelola pemerintahan kabupaten sendiri. Sesuatu yang sebenarnya bisa diterima dan dipahami mengingat Takalar punya sejarah panjang perjalanan raja-raja kecil namun disegani seperti wilayah berdaulat Polongbangkeng, Sanrobone dan Galesong.
Ada hal menarik dalam proses menuju kabupaten otonom itu, yaitu bahu membahunya para Karaeng, atau Lo’mok (semacam penguasa wilayah) yang sepakat untuk melebur kekuatan dalam membangun kabupaten/distrik. Mereka cairkan ego dan sepakat berbagi posisi sebagai penopang Bupati terpilih yang memang “pamong sejati”. Keturunan Raja dari pesisir Galesong hingga Sanrobone berbagi kapasitas demi terwujudnya Kabupaten Takalar. Sosok penting dalam proses pemerintahan itu adalah Keturunan Raja Galesong, H. Bostan Daeng Mama’ja. Karaeng dari Galesong ini mendapat posisi penting sebagai pembantu Bupati.
Dua Pahlawan Nasional
Pada kacamata sejarah dan sosiologi pemerintahan, spirit perjuangan menuju kabupaten Takalar otonom itu merupakan titisan perjuangan para pendahulunya dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, bahkan bermula dari perlawanan pada Belanda semasa pemerintahan Kerajaan Gowa. Dahulu, wilayah ini merupakan basis pertahanan Gowa yang ditunjukkan oleh pendirian benteng mulai dari Barombong hingga Sanrobone. Bahkan salah satu penentang Belanda dan Arung Palakka adalah Karaeng Galesong yang memilih meneruskan perlawanan dari laut selat Makassar kala Gowa takluk di tahun 1669. Sejarah mencatat bahwa pergolakan dan perlawanan sungguh-sungguh dan tangguh itu datang dari selatan Gowa.
Di wilayah administratif Provinsi Sulawesi Selatan, hanya Kabupaten Takalar yang mempunyai dua pahlawan nasional! Yang pertama adalah Ranggong Daeng Romo, ditetapkan tahun 2001, kedua Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng (2006). Mempunyai dua sosok pahlawan nasional rasanya membanggakan dan luar biasa. Jika misalnya, Karaeng Galesong yang kesohor itu juga disemati predikat pahlawan nasional, maka Takalar akan punya tiga pahlawan nasional. Para pejuang itu tentu menyimpan dimensi yang layak diapresiasi dan dibanggakan. Mengapa mereka begitu istimewa?.
Ranggong Daeng Romo, lahir kampung di Kampung Bone-Bone, Polongbangkeng, Sulsel pada tahun 1915. Beliau wafat pada 27 Februari 1947. Ranggong menempuh pendidikan di Hollands Inlandsh Schooldan Taman Siswa di Makassar setelah sebelumnya menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Cikoang. Ia bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer Jepang ketika menduduki Sulawesi. Ranggong muda dikenal karena memimpin penyerangan ke konsentrasi pasukan KNIL Belanda beberapa kali.
Pejuang lainnya adalah Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng, dia tipe pemimpin berwawasan luas dan mampu menggerakkan potensi pemuda melalui organisasi modern seperti “Gerakan Muda Bajeng”. Bukan hanya bermodalkan keberanian, dia juga terampil dalam mengorganisasi diri. Sebelumnya, Pajonga turut menghadiri konferensi raja-raja Sulawesi Selatan di Yogyakarta untuk mendukung pemerintahan Sulawesi Selatan di bawah komando Gubernur Sam Ratulangi.
Pajonga mengakui wilayahnya merupakan naungan Republik Indonesia. Pajonga juga berkolaborasi dengan Wolter Monginsidi untuk melawan tentara Belanda dengan membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia. Sungguh dia elite sekaligus pemimpin yang gigih.
Kecenderungan Kini
Nampaknya, secara sosiologis, membahas sejarah dan spirit kuat pergerakan sosial dan upaya menuju formasi pemerintahan sendiri di wilayah Takalar tidak bisa dipisahkan dari pengaruh tradisional penguasa lokal seperti pengaruh raja-raja lokal (Karaeng), dan otoritas kharismatik pada ulama-ulama atau penganjur agama Islam melalui pesantren-pesantren yang ada. Banyak tokoh penting di bentang sejarah Takalar merupakan pemuda keturunan raja yang juga terdidik baik di bangku pendidikan modern.
Mereka juga tekun membaca kitab-kitab keagamaan. Sebagaimana diketahui keturunan Sayyed (Syekh) banyak ditemukan di Takalar terutama di pesisir Sanrobone, mereka inilah yang memompa semangat perlawanan dengan menggelorakan kebenaran di atas segala-galanya dengan basis agama Islam.
Sebagai bagian dari kerajaan itu, para pemuda bertahan dan mencoba mengambil peran di “otoritas birokratis negara” seperti saat Belanda dan Jepang masih bercokol di Takalar. Namun mereka tetap bersiasat untuk menyusun agenda-agenda pembebasan, mereka tidak lengah pada janji Belanda. Mereka tidak betah di zona nyaman sebagai penguasa namun haknya dikebiri. Ini terlihat bagaimana mereka diterima, dididik namun akhirnya dikejar-kejar sebagai pembangkang atas rencana-rencana busuk Belanda pasca deklarasi kemerdekaan kita di tahun 1945. Semesta Takalar bergelora, rakyat atas komando keluarga raja dan pemuda terdidik serentak melawan kesewenang-wenangan, dominasi dan kebengisan KNIL Belanda.
Kini, di kondisi kontemporer pemerintahan dan situasi politik yang berkelindan tak menentu, saat hampir semua kabupaten/kota bahkan nasional, ditemukan adanya pergumulan spirit nasionalisme demokratis dengan agama. Antara bicara demokrasi dan pengarusutamaan nilai-nilai agama ada situasi lain, ketidakharmonisan pemerintahan dan ketidakefektifan birokrasi dalam melayani kebutuhan warga, termasuk cap “mis-management” yang banyak melekat di pemimpin-pemimpin modern. Banyak kabupaten/kota didera masalah yang sama, korupsi dan ketimpangan sosial. Elite seperti berjalan sendiri, berjalan dengan simbol-simbol demokratis, religius namun menumpuk kekayaan sendiri dan melupakan akarnya. Mereka melupakan esensi perjuangan pendahulunya, para pahlawan nasional yang telah mencapai 191 orang (pertahun 2010).
Di Indonesia, saat makna otoritas kemuliaan status dan kharisma pengetahuan tentang islam kini semakin memudar, yang mengemuka adalah birokrat yang tidak jelas kandungan moral dan pemihakannya. Bisa jadi benar dugaan peneliti Islam dan Kekuasaan di Sulawesi, Thomas Gibson dalam bukunya “Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara” (Ininnawa 2011), bahwa model simbolik seperti ajaran agama, bahkan ilmu mistik yang dulu dimaknai sebagai kesadaran yang berubah dianggap (sebenarnya) masih memberi ragam alternatif atau kemungkinan yang lebih baik.
Namun jika melihat kecenderungan kini bahwa “kekayaan dan materi” semakin mendominasi kekuasaan atau pemerintahan, maka, sepertinya kita telah kehilangan pengetahuan simbolik (keagamaan) itu, dia berubah menjadi dominasi kekuasaan belaka yang tanpa nilai. Sesungguhnya, kita bisa menarik pembelajaran dari para pejuang Takalar dulu. Bersekolah, disiplin dan terampil dalam urusan agama. Mereka adalah penggerak perlawanan dengan modal pengetahuan (ahli), mereka bersekolah agama, terdidik dan berani mengambil keputusan. Kesan bahwa kekuasaan dan otoritas tradisional keluarga bangsawan sebagai penghambat kemajuan ekonomi dan spiritual ternyata tidak terbukti, mereka bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Mereka tidak tenang saat hendak dimanja kekuasaan dan materi oleh Belanda.
Rakyat Takalar mestinya berbangga, paling tidak malu jika spirit perlawanan dan kecemerlangan laku para pejuang itu tidak diejawantah dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam upaya mencapai tujuan perjuangan tersebut, dibentuklah tim kecil yang menyuarakan aspirasi masyarakat. Mereka, para tokoh itu, segera menghadap ke Pemerintah, baik legislatif maupun eksekutif. Mereka menghadap Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar guna menyalurkan aspirasi dan tuntutan masyarakat supaya Takalar bisa berdiri sendiri. Tentu dengan segala macam argumentasi. Landasannya jelas, spirit meneruskan perjuangan dan kebebasan mengelola sumberdaya pemerintahaan di Takalar didasarkan pada kompetensi, kapasitas dan kapabilitas berdasarkan latar belakang masing-masing.
Dua tahun kemudian, yakni tahun 1959 terbitlah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 (LN No. 74 Tahun 1959) tentang pembentukan daerah-daerah Tingkat II Sulawesi Selatan dimana Kabupaten Takalar berdiri sendiri sebagai satu kabupaten dengan ibukota Pattallassang berdasarkan Perda No. 13 Tahun 1960. Bupati pertama bernama Donggeng Dg. Ngasa seorang pamongpraja senior. Pemerintah provinsi saat itu melihat kegigihan dan keberanian untuk mengelola pemerintahan kabupaten sendiri. Sesuatu yang sebenarnya bisa diterima dan dipahami mengingat Takalar punya sejarah panjang perjalanan raja-raja kecil namun disegani seperti wilayah berdaulat Polongbangkeng, Sanrobone dan Galesong.
Ada hal menarik dalam proses menuju kabupaten otonom itu, yaitu bahu membahunya para Karaeng, atau Lo’mok (semacam penguasa wilayah) yang sepakat untuk melebur kekuatan dalam membangun kabupaten/distrik. Mereka cairkan ego dan sepakat berbagi posisi sebagai penopang Bupati terpilih yang memang “pamong sejati”. Keturunan Raja dari pesisir Galesong hingga Sanrobone berbagi kapasitas demi terwujudnya Kabupaten Takalar. Sosok penting dalam proses pemerintahan itu adalah Keturunan Raja Galesong, H. Bostan Daeng Mama’ja. Karaeng dari Galesong ini mendapat posisi penting sebagai pembantu Bupati.
Dua Pahlawan Nasional
Pada kacamata sejarah dan sosiologi pemerintahan, spirit perjuangan menuju kabupaten Takalar otonom itu merupakan titisan perjuangan para pendahulunya dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, bahkan bermula dari perlawanan pada Belanda semasa pemerintahan Kerajaan Gowa. Dahulu, wilayah ini merupakan basis pertahanan Gowa yang ditunjukkan oleh pendirian benteng mulai dari Barombong hingga Sanrobone. Bahkan salah satu penentang Belanda dan Arung Palakka adalah Karaeng Galesong yang memilih meneruskan perlawanan dari laut selat Makassar kala Gowa takluk di tahun 1669. Sejarah mencatat bahwa pergolakan dan perlawanan sungguh-sungguh dan tangguh itu datang dari selatan Gowa.
Di wilayah administratif Provinsi Sulawesi Selatan, hanya Kabupaten Takalar yang mempunyai dua pahlawan nasional! Yang pertama adalah Ranggong Daeng Romo, ditetapkan tahun 2001, kedua Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng (2006). Mempunyai dua sosok pahlawan nasional rasanya membanggakan dan luar biasa. Jika misalnya, Karaeng Galesong yang kesohor itu juga disemati predikat pahlawan nasional, maka Takalar akan punya tiga pahlawan nasional. Para pejuang itu tentu menyimpan dimensi yang layak diapresiasi dan dibanggakan. Mengapa mereka begitu istimewa?.
Ranggong Daeng Romo, lahir kampung di Kampung Bone-Bone, Polongbangkeng, Sulsel pada tahun 1915. Beliau wafat pada 27 Februari 1947. Ranggong menempuh pendidikan di Hollands Inlandsh Schooldan Taman Siswa di Makassar setelah sebelumnya menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Cikoang. Ia bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer Jepang ketika menduduki Sulawesi. Ranggong muda dikenal karena memimpin penyerangan ke konsentrasi pasukan KNIL Belanda beberapa kali.
Pejuang lainnya adalah Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng, dia tipe pemimpin berwawasan luas dan mampu menggerakkan potensi pemuda melalui organisasi modern seperti “Gerakan Muda Bajeng”. Bukan hanya bermodalkan keberanian, dia juga terampil dalam mengorganisasi diri. Sebelumnya, Pajonga turut menghadiri konferensi raja-raja Sulawesi Selatan di Yogyakarta untuk mendukung pemerintahan Sulawesi Selatan di bawah komando Gubernur Sam Ratulangi.
Pajonga mengakui wilayahnya merupakan naungan Republik Indonesia. Pajonga juga berkolaborasi dengan Wolter Monginsidi untuk melawan tentara Belanda dengan membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia. Sungguh dia elite sekaligus pemimpin yang gigih.
Kecenderungan Kini
Nampaknya, secara sosiologis, membahas sejarah dan spirit kuat pergerakan sosial dan upaya menuju formasi pemerintahan sendiri di wilayah Takalar tidak bisa dipisahkan dari pengaruh tradisional penguasa lokal seperti pengaruh raja-raja lokal (Karaeng), dan otoritas kharismatik pada ulama-ulama atau penganjur agama Islam melalui pesantren-pesantren yang ada. Banyak tokoh penting di bentang sejarah Takalar merupakan pemuda keturunan raja yang juga terdidik baik di bangku pendidikan modern.
Mereka juga tekun membaca kitab-kitab keagamaan. Sebagaimana diketahui keturunan Sayyed (Syekh) banyak ditemukan di Takalar terutama di pesisir Sanrobone, mereka inilah yang memompa semangat perlawanan dengan menggelorakan kebenaran di atas segala-galanya dengan basis agama Islam.
Sebagai bagian dari kerajaan itu, para pemuda bertahan dan mencoba mengambil peran di “otoritas birokratis negara” seperti saat Belanda dan Jepang masih bercokol di Takalar. Namun mereka tetap bersiasat untuk menyusun agenda-agenda pembebasan, mereka tidak lengah pada janji Belanda. Mereka tidak betah di zona nyaman sebagai penguasa namun haknya dikebiri. Ini terlihat bagaimana mereka diterima, dididik namun akhirnya dikejar-kejar sebagai pembangkang atas rencana-rencana busuk Belanda pasca deklarasi kemerdekaan kita di tahun 1945. Semesta Takalar bergelora, rakyat atas komando keluarga raja dan pemuda terdidik serentak melawan kesewenang-wenangan, dominasi dan kebengisan KNIL Belanda.
Kini, di kondisi kontemporer pemerintahan dan situasi politik yang berkelindan tak menentu, saat hampir semua kabupaten/kota bahkan nasional, ditemukan adanya pergumulan spirit nasionalisme demokratis dengan agama. Antara bicara demokrasi dan pengarusutamaan nilai-nilai agama ada situasi lain, ketidakharmonisan pemerintahan dan ketidakefektifan birokrasi dalam melayani kebutuhan warga, termasuk cap “mis-management” yang banyak melekat di pemimpin-pemimpin modern. Banyak kabupaten/kota didera masalah yang sama, korupsi dan ketimpangan sosial. Elite seperti berjalan sendiri, berjalan dengan simbol-simbol demokratis, religius namun menumpuk kekayaan sendiri dan melupakan akarnya. Mereka melupakan esensi perjuangan pendahulunya, para pahlawan nasional yang telah mencapai 191 orang (pertahun 2010).
Di Indonesia, saat makna otoritas kemuliaan status dan kharisma pengetahuan tentang islam kini semakin memudar, yang mengemuka adalah birokrat yang tidak jelas kandungan moral dan pemihakannya. Bisa jadi benar dugaan peneliti Islam dan Kekuasaan di Sulawesi, Thomas Gibson dalam bukunya “Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara” (Ininnawa 2011), bahwa model simbolik seperti ajaran agama, bahkan ilmu mistik yang dulu dimaknai sebagai kesadaran yang berubah dianggap (sebenarnya) masih memberi ragam alternatif atau kemungkinan yang lebih baik.
Namun jika melihat kecenderungan kini bahwa “kekayaan dan materi” semakin mendominasi kekuasaan atau pemerintahan, maka, sepertinya kita telah kehilangan pengetahuan simbolik (keagamaan) itu, dia berubah menjadi dominasi kekuasaan belaka yang tanpa nilai. Sesungguhnya, kita bisa menarik pembelajaran dari para pejuang Takalar dulu. Bersekolah, disiplin dan terampil dalam urusan agama. Mereka adalah penggerak perlawanan dengan modal pengetahuan (ahli), mereka bersekolah agama, terdidik dan berani mengambil keputusan. Kesan bahwa kekuasaan dan otoritas tradisional keluarga bangsawan sebagai penghambat kemajuan ekonomi dan spiritual ternyata tidak terbukti, mereka bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Mereka tidak tenang saat hendak dimanja kekuasaan dan materi oleh Belanda.
Rakyat Takalar mestinya berbangga, paling tidak malu jika spirit perlawanan dan kecemerlangan laku para pejuang itu tidak diejawantah dalam kehidupan sehari-hari.
Kamis, 11 Oktober 2012
PENGERTIAN INCEST
-Pengertian incest
Belakangan ini, banyak sekali ditemukan baik di media maupun
kehidupan nyata, seorang anak menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan
anggota keluarga sendiri yang lazim disebut incest
Incest atau inses dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah
hubungan seksual antara orang-orang yang bersaudara dekat yang dianggap
melanggar adat, hokum dan agama.
Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen, incest adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yamg
memiliki ikatan keluarga yang kuat, seperti misalnya ayah dengan anak
perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama keluarga kandung.
Sedangkan menurut Kartini Kartono(1989:255), incest adalah hubungan seks diantara pria dan wanita
di dalam atau diluar ikatan perkawinan, dimana mereka terkait dalam hubungan
kekerabatan atau keturunan yang yang dekat sekali.
Sofyan S. Willis (1994:27) mengemukakan pengertian incest sebagai berikut:
Hubungan kelamin yang terjadi antara dua orang diluar nikah,
sedangkan mereka adalah kerabat dekat sekali.
Selanjutnya pendapat incest
yang dikemukakan oleh Supratik (1995:101) mengatakan bahwa:
Taraf koitus antara anggota keluarga, misalnya antara kakak
lelaki dengan adik perempuannya yang dimaksud adalah hubungan seksual. Atau
antara ayah dengan anak perempuannya, yang dilarang oleh adat dan kebudayaan.
Dari pengertian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Incest
adalah hubungan seksual yang terjadi di antara anggota kerabat dekat,
biasanya adalah kerabat inti seperti ayah, atau paman. Incest dapat terjadi suka sama suka yang kemudian bias terjalin
dalam perkawinan dan ada yang terjadi secara paksa yang lebih tepat disebut
dengan perkosaan.
Incest digambarkan sebagai kejadian relasi seksual; diantara
individu yang berkaitan darah, akan tetapi istilah tersebut akhirnya
dipergunakan secara lebih luas, yaitu untuk menerangkan hubungan seksual ayah
dengan anak, antar saudara. Incest merupakan perbuatan terlarang bagi hampir
setiap lingkungan budaya.
Freud (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005:74) berkesimpulan
bahwa dasar tabu incest adalah
apabila incest dibenarkan maka akan terjadi persaingan,
perebutan pasangan dalam lingkungan, antara ayah-ibu-saudara-saudara. Jelas
bahwa persaingan atau perbuatan semacam itu akan membawa kehancuran keluarga
dan suku bangsa sendiri.
Kemudian Freud (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005:74)
menambahkan bahwa disposisi psikis yang dibawa sejak lahir akan tetap efektif
apabila mendapat persaingan tertentu daripada proses percampuran darah anatara
individu yang tidak ada kaitan darahnya. Selain itu, tidak ada satu generasi
pun yang akan mampu mempertahankan disposisi psiikis yang positif dalam garis
keturunan yang sama. Kecuali itu, ketakutan kastrasi pada fase phallic menghambat pelampiasan fantasi incest.
Fakta biologis juga memperkuat tabu incest karena kematian, retardasi mental, dan kelalaian congenital
sangat banyak terjadi sebagai akibat incest.
Walaupun banyak factor yang memungkinkan terjadi incest.
Lustig (Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005:74-75) menyatakan
terdapat lima kondisi gangguan keluarga yang memungkinkan terjadinya incest, yaitu:
1.
Keadaan terjepit, dimana anak perempuan menjadi
figure perempuan utama yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai
pengganti ibu.
2.
Kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak
mampu mengatasi dorongan seksualnya.
3.
Ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan
seksual di luar rumah karena kebutuhan untuk mempertahankan façade kestabilan sifat patriachat-nya.
4.
Ketakutan akan perpecahan keluarga yang
memungkinkan beberapa anggota keluarga untuk lebih memilih desintegrasi
struktur daripada pecah sama sekali.
5.
Sanksi yang terselubung terhadap ibu yang tidak
berpartisipasi dalam tuntutan peranan seksual sebagai istri.
Faktor kondisi social yang sering memungkinkan pelanggaran incest adalah rumah yang sempit dengan
penghuni yang berdesakan, alkoholisme, isolasi geografis, sehingga sulit
mencari hubungan dengan anggota keluarga yang lain.
Sedangkan menurut Kartini Kartono (1989:225) penyebab incest adalah antara lain ruangan rumah yang tidak
memungkinkan orang tua, ank, dan saudara pisah kamar. Sedangkan hubungan incest antara ayah dengan anak
perempuannya dapat terjadi sehubungan dengan keberadaan penyakit mental yang
serius pada pihak ayah.
Kartini kartono (1989:225) menambahkan bahwa incest banyak terjadi dikalangan rakyat
dari tingkat kalangan social-ekonomi yang rendah.
Jenis-jenis incest berdasarkan
penyebabnya adalah:
1.
Incest yang
terjadi secara tidak sengaja, misalnya kakak-adik lelaki perempuan remaja yang
tidur sekamar, bias tergoda melakukan eksperimentasi seksual sampai terjadi incest.
2.
Incest akibat
psikopatologi berat. Jenis ini bias terjado antara ayah yang alkoholik atau
psikopatik dengan anak perempuannya. Penyebabnya adalah kondornya control diri
akibat alcohol atau psikopati sang ayah.
3.
Incest akibat
pedofilia, misalnya seorang lelaki
yang haus menggauli anak-anak perempuan dibawah umur, termasuk anaknya sendiri.
4.
Incest akibat
contoh buruk dari ayah. Seorang lelaki menjadi senanh melakukan incest karena meniru ayahnya melakukan
perbuatan yang sama dengan kakak atau adik perempuannya.
5.
Incest akibat
patologi keluarga dan hubungan perkawinan yang tidak harmonis. Seorang
suami-ayah yang tertekan akibat sikap memusuhi serba mendominasi dari istrinya
bias terpojok melakukan incest dengan
anak perempuannya.
Secara umum ada dua kategori incest. Pertama parental
incest, yaitu hubungan antara orang tua dan anak. Kedua Sibling incest, yaitu hubungan antara
saudara kandung. Kategori incest dapat
diperluas lagi dengan memasukkan orang-orang lain yang memiliki kekuasaan atas
anak tersebut, misalnya paman, bibi, kakek, nenek, dan sepupu.
Bentuk-bentuk incest tidak
terbatas hanya dalam bentuk kekerasan seksual secara fisik, namun juga psikis
dan mental yang mencakup rayuan dan iming-imimng. Berikut beberapa bentuk
kekerasan seksual yang termasuk incest:
1.
Ajakan atau rayuan berhubungan seks
2.
Sentuhan atau rabaan seksual
3.
Penunjukan alat kelamin
4.
Penunjukan hubungan seksual
5.
Memaksa melakukan mastrubasi
6.
Meletakkan atau memasukkan benda-benda atau jari
tangan ke anus atau vagina
7.
Berhubungan seksual (termasuk sodomi)
8.
Mengambil atau menunjukkan foto anak kepada
orang lain tanpa busana atau ketika berhubungan seksual.
Semakin maraknya kasus incest
memperlihatkan betapa rentannya posisi seorang anak untuk menjadi korban
kekerasan seksual. Terlebih lagi pelakunya adalah orang yang seharusnya menjadi
pelindungnya.
Incest menurut hokum pidana
Pengaturan perbuatan incest atau yang lebih dikenal dengan
hubungan seksual sedarah dalam KUHPidana sangatlah penting, terutama mengenai
sanksi-sanksinya. Pengaturan untuk kasus-kasus incest masih berdasarkan pada
Pasal 285, Pasal 287, Pasal 294 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) butir (1).
Pasal 285 KUHPidana dengan jelas menyebutkan bahwa “barang
siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan
istrinya bersetubuh dengan dia, diluar pernikahan, dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan, yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun” untuk pasal 285 KUHPidana kurang tepat karena pasal ini adalah pasal
pemerkosaan, demikian juga dengan Pasal 287 yang menyebutkan “barang siapa
bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedangkan diketahui atau harus
patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata
berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara
selama-lamanya Sembilan tahun”, pasal
ini juga belum tepat untuk pengaturan incest.
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana pengaturan mengenai incest disebutkan secara jelas dalam
buku ke II Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan Pasal 294 ayat (1) R.
Soesilo(1995:215), yaitu:
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang
belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan
seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan kepadanya untuk ditanggung,
dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum
dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Langganan:
Postingan (Atom)